Rabu, Februari 13, 2008

Sebuah Perjalanan

Sebuah Perjalanan

Cukup bangga berkenalan dan bercengkrama dengan orang yang terkenal. Apalagi bersahabat dengan seorang Nabi ~di era kini dapat melihat melalui mimpi~, dan lebih-lebih dapat melihat Gusti. Sungguh sebuah nikmat yang tiada terperi ! Aku sangat merindukan my dremy di tengah kernaifan pribadi dan sosial sebagai pengobat hati. Mungkin sama dengan kita semua ?

Menjelang lawatan ke ujung paling Timur Madura ~ Pantai Dungkek~, kami berbicara tentang esensi sebuah nama dengan Ust. Zawawi. Sebuah lawatan identitas diri manusia. Tak harus nama yang harus selalu berbau Arab, tetapi yang penting adalah sebuah nama yang mampu membawa esensi haqiqi sebagai hamba Gusti. Banyak nama yang berbau bahasa Jawa, namun mampu menorehkan sejarah emas dalam hidupnya karena ia tunduk pada Tuhannya. Nama-nama tersebut antara lain : Prawoto, Kasman Singodimedjo. Ust. Zawawi juga mencontohkan nama seorang muslim Afrika, Isa …..yang iapun cukup bangga dengan namanya. Tentu kita sama.

Apa arti sebuah nama ? Tapi yang penting adalah nama yang mampu menghantarkan kita ingat dan kembali pada-Nya. Rasanya akupun ingin merubah namuku kembali menjadi nama kecilku Mardiono atau menjadi Agus Selamet, karena guru kami sekarang bernama Kyai Soekamto. Nama ? Tapi penting juga sebagai identitas diri kita. Soekarno bisa menjadi Presiden RI pertama, Syafuddin Prawiranegara bisa menjadi Presiden PDRI, Soeharto pun telah mengukir namanya. Pasca reformasi Habibie juga bisa menganti bosnya. Gus Dur juga dapat menukir namanya dikursi RI 1 hasil pemilu 1999 walau akhirnya “mundur”, Megawati toh akhirnya dapat juga mengukir namanya tidak hanya di mega, namun di langit cakrawala politik Indosnesia, bahkan Susilo Bambang Yudhoyono tanpa basik partai politik besarpun dapat meraih kursi RI 1 di pemilu 2004. Bahkan dalam pantun Ust. Zawawi ~yang kini disebut sebagai salah satu Budayawan Masuk Sekolah~ cukup unik untuk kita renungkan. “Beli rujak ke kota Solo, tertabrak bus jatuh terlentang. Untungnya punya Presiden Susilo, Presiden Bush pun bisa datang”.

Pulau Madua dengan kondisi tanah yang tak begitu ramah ~seperti pulau Jawa dan Sumatra~ namun budayanya patut untuk kita contoh; yaitu budaya tunduk pada Gusti Allah ~terlepas dari gurauan Islam bersendi dasar dua : Syahadat dan Haji. Rumah orang Madura asli berbentuk Joglo ~Jogya-Solo, di samping rumah ada musholla dan makam keluarga. Sungguh elok nian bila disetiap relung insan muslim Indonesia ada bilik musholla untuk tempat dzikir dan mengingat Tuhannya, serta ada makamnya yang mampu mengingatkan bahwa kita pasti akan mati. Sehingga segala pofesi yang kita miliki dapat mengikat kita dalam taat. Sebagai rakyat kita berkhikmat walau memeras keringat, sebagai pejabat tak rela menyikat uang rakyat. Betapa nikmat hidup penuh kesadaran pada Gusti Allah dan kesadaran mati, sehingga masing-masing kita akan berbakti dan hidup kita bersama berkaloborasi dalam abdi, abdi yang mampu menyelamatkan bahtera hidup bermasyarakat tidak dengan saling menjilat dan menyikat uang rakyat.

Setiba di pantai Dungkek ~± 9 km arah timur rumah Ust. Zawawi, serasa kami dalam lawatan alam kuasa ilahi. Kami menyadari nikmat keindahan alam bukanlah cipta da karsa manusia. Karya manusia hanya memoles dan memenejnya; sebagai contoh : Jatim Park Batu Malang atawa Wisata Bahari Lamongan. Di sana manusia tingal mengukir potensi alam yang ada; tidak menciptakannya. Menurut Ust. Zawawi, “Keindahan pantai Dungkek tinggal sisa reklamasi pantai untuk tempat tinggal dan dermaga”. Namun masih tampak keindahan nan menawan. Sun Set-nya begitu indah, terlebih dari Masjid di Desa Bujaan Lapa Laok di pantai itu. Di pantai Dungkek nan indah di tengah kebijakan nan jelek masih dapat memberikan kesadaran bahwa kita adalah pendek (rendah) dihadapan Allah pengukir Dungkek. Semoga Kita Sadar (Jan-07)

Tidak ada komentar: