Senin, Februari 18, 2008

Guru Ideal, Tak Pernah Ideal


Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ~bahkan hampir terjungkal. Ketika ku baca 'Dia Tak Mengajariku, Tapi Dia Guruku'. (baca:http://padhangmbulan.com/content/blogcategory/16/37/lang,id/)
Tulisan yang merujuk pada sebuah forum guru bersama cak Nun di Jogja. Ketika seorang guru bertanya kepada cak Nun, 'Siapakah guru ideal?', dan ketika seorang lainnya bertanya, 'Siapakah gurunya cak Nun?'. Dari jawaban cak Nun aku menangkap suatu jawaban yang luar biasa, yang melingkupi ruang dan waktu, yang mensinergikan antara profan dan sakral.
Menurut cak Nun,'Bila kita mencari guru ideal, maka akan kecele..., sebab guru ideal itu tidak ada'. Yang ada hanyalah guru, yang ada hanyalah seorang yang seharusnya menjadi panutan dan teladan ~digugu lan ditiru. Tapi rasanya memang betul-betul berat. Pertama : Guru ideal dari mana? Jika misalnya ada undangan rapat jam 08.30, namun jam 09.30 baru datang. Tentu hal itu banyak kasus dan sifatnya kasualitas ~ tentunya. Itulah budaya kita yang jauh dari esensi orang Indonesia. Yang mana seharusnya memegang budaya ngewongake (mengorangkan orang) dan panjer wektu (tepat waktu). Namun apa kenyataannya. Mungkin kita juga berperan serta di dalamnya.
Kedua : Guru ideal lewat jalur apa? Jika jika diberi peluang untuk sertifikasi, namun yang ada hanya mengumpulkan ‘nilai mati’, belum ‘nilai kognitif mati’, apalagi ‘nilai citra diri’. Sebab yang dikejar hanyalah nilai dari jual beli sertifikat yang kosong dan hampa. Lalu dari manakah perbaikkan negeri ini kita tempuh, jika jalur pendidikan yang seharusnya jalan yang masih dapat digadang-gadang juga sudah dilanda ‘krisis multidimensional’.
Dan, guru yang sebenarnya adalah justru yang tidak mengajar kita, namun memberikan kita sejuta tafsir aplikasi dalam kehidupan. Sebuah tafsir yang mampu mengimplementasikan hidup kita dalam realita. ‘Itulah guru sejati’ ~belajar dari kata cak Nun tentang si Umbu. Sungguh sebuah untaian kalimat yang agung. Bukan berarti yang mengajar kita, bukan guru? Bila ia mampu mengantarkan kita menemukan nilai diri, itulah maha guru. Dari dua kalimat di atas seharusnya kita mampu belajar dari siapa saja, dari apa saja, kapan saja dan dimana saja. Terutama pada orang, pada benda, pada waktu yang mampu menghantarkan kita sadar dan tunduk.
Semua itu jika kita renungkan secara mendalam, pasti kita akan menemukan sejatinya apa diri kita. Bukankah Kanjeng Nabi pernah berpesan,’Jangan lihat siapa yang bicara, tetapi lihat apa yang dibicarakan?’. Nabi juga berpesan, ‘Bertaqwalah kamu kepada Allah dimana saja?’ Artinya kita harus mampu melihat esensi sesuatu dari siapa, dari apa, dan dari mana saja. Kita harus konsisten dengan siapa, dengan apa dan dengan apa saja yang mampu menghantarkan kemanusiaan kita. Seyampang untuk kebaikan, maka kita harus terbuka. Seyampang untuk keilmuan, maka kita harus legowo menerima informasi yang berguna atau menerima pengajaran yang bermanfaat, tapi itu berat. (sSIM, Feb16,2008)