Rabu, Februari 20, 2008

Berguru Pada Waktu


Waktu merupakan suatu yang amat penting. Tanpa waktu berarti kita sudah mati. Menyia-nyiakan waktu menuju kematian ~kematian kreatifitas dan kematian aktifitas. Pepatah mengatakan 'al waktu ka al saif'. Waktu itubagaikan pedang, jika kita lengah terhadapnya, maka kita akan tertebas dengan sendirinya. Betapa dahsyat dan hebat waktu itu!
Karena sangat pentingnya waktu, maka Allah bersumpah dengan waktu, 'wa al dluha, wa al nahaar, wa al ashr, wa al lail'. Hal itu menunjukkan pentingnya waktu pagi, siang, sore, malam dll. Sungguh orang yang menyiakan waktu
akan merugi. Jika saat beraktifitas pada jam kantor kita kendor dan molor, jalan-jalan mencari makan dan 'makan', maka rugilah kita. Dan, lebih rugi lagi ummat yang hak pelayanannya sirna. Jika malam kita dugem, dan melakukan aktifitas tak berguna, maka celakalah kita. (Apa termasuk blogerrrr ya?)
Waktu begitu penting, tapi manusia sering terpelannting olehnya sebab tak menghiraukannya, menyia-nyiakannya. Lihat, banyak acara yang molor, sehingga waktu habis terbuang. Jam karet menjadi 'budaya keseharian' di setiap lini kehidupan kita. Bukan hanya orang kantoran, namun di masyarakat juga sudah sama! Lalu dari mana kita memperbaikinya? Jika di instansi, organisasi yang berbau keagamaan juga ikut-ikutan molor? Padahal mereka sangat kental dengan firman-firman Allah.
Sementara workolic kehabisan waktu. Mereka mengejar rezeki tak kenal waktu. Pagi, siang, sore, bahkan malam ia telan. Anak istri ditelantarkan, keluarga dan handai tolan tiada disapa, silaturrahmi tiada. Apalagi shilah untuk RabbNya, Pencipta dan Pengatur waktu juga tiada! Jika demikian ia telah diperbudak waktu. Siang malam beraktifitas dunia. malam sirna untuk mencash baterai ruhani dan spiritual. Sungguh mereka telah lupa waktu! Lalu bagaimana dengan kita? Sebagai orang yang arif, maka kita harus menggunakan waktu dengan bijaksana. Gunakan waktumu, senyampang engkau belum dipisahnya! (SSIM, Febr_22_08)

Ketika Harus Berguru


Allah sebagai Tuhan Semesta Alam senantiasa mengajar maklukNya. Adam diajari nama-nama, demikian pula anak cucunya. Ketika Qobil membunuh Habil, Allah mengirim burung untuk mengajari bagaiman mengubur jasad saudaranya. Demikian juga saat Nabi Musa merasa dirinya yang paling pandai, maka Allah mengirim Khidlir sebagai gurunya. Allah-pun berfirman, 'Wa fauqo kulli dzi 'ilmin 'aliimun'. Di atas setiap yang berilmu, pasti ada yang lebih pandai. Di kepandaian anak TK, ada SD. Di kepandaian anak SD ada SMP. Di kepandaian anak SMP ada SMA. Di kepandaian anak SMA ada PT, ada S2, ada S3 ada Profesor. Ada yang tak terhingga, yaitu semangat belajar.
Belajar tak boleh terhenti hingga terbawa mati, mudah-mudahan mendapat ilmu bermanfaat sebagai bekal di akhirat serta untuk memperbaiki martabat. Bukankah Kanjeng Nabi pernah berpesan,'menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap orang muslim', 'menuntut ilmu itu mulai dari ayunan hingga ke liang lahat'. Sebagai ummat Kanjeng Nabi, maka kita harus berprinsip long life education. Jadi, siapa berhenti belajar ia telah mati ~setidaknya mati secara batiniyah, mati secara spiritual. Oleh itu belajar tak pernah puas. Apalagi aus.
Lalu, bagaimanakah belajarnya seorang guru? Coba pahamilah sebuah hikmah, 'belajar sepanjang hayat', dan kita tak pernah mendengar 'guru sepanjang hayat'. Saiyidina Ali berkata, 'Orang yang mengajariku satu alif, maka ia adalah guruku'. Pernahkah kita mempunyai kesadaran itu? Atau kita menyombongkan diri dengan keluasan ilmu, kelapangan harta atau tingginya kedudukan? Jawabannya tergantung kepada nurani kita. Jika kita menurut millahnya Nabi Musa, maka bergurulah kita pada Nabi Khidlir. Namun jika kita menurut syahwatnya Iblis, maka amblaslah kita.
Pertanyaan besar patut senantiasa kita tanyakan pada diri kita. Sejauh mana kesadaran diri kita, me-Musa ataukah meng-iblis? Ingat jika kesadaran kedua yang wujud, lalu setiap diri tinggi hati, setiap institusi, instansi, organisasi, dan negeri tinggi hati, maka hancur leburlah kita. Tapi untung kita ummatnya Kanjeng Nabi Muhammad yang selalu diberi tangguh. Bila salah diberi kesempatan berinstropeksi diri agar bertaubat. Matur nuwun Kanjeng Nabi, thank you my prophet!
Pada intinya, maukah kita selalu belajar? Sebagai refleksi, saat aku ikut micro teaching di Nurul Falah Surabaya banyak pelajaran dan guru yang aku dapat. Ada seorang ibu yang sudah tua, namun semangat belajarnya begitu tinggi. Ada anak yang muda belia, bahkan masih duduk di bangku SMA, namun ilmunya begitu 'tinggi'. Semua itu adalah guru laku bagiku. Menurut Ust. Abdur Rohim ~instruktur saat itu~, 'Pada hari ini pelajaran yang kita peroleh adalah hikmah apa yang bisa kita ambil dari penglihatan kita atas praktek mengajarnya asatidz-asatidzah'. Sungguh hebat kata itu, mau belajar pada siapa saja dengan melihat apa, bukan siapa. Aku jadi teringat dalam sepi malam-malamku nan panjang semasa aku duduk tadzakur dan tafakur di Masjid Darus Salam kampungku. Ku buka jendela, ku pandang bintang gemintang bergelayut di langit. Ia bertasbih. Berlinaglah air mataku. Alam adalah guruku. Ingat! Nabi Ibrohim dapat menjatuhkan teori ketuhanan Namrud dengan dalil aqli kauniyah bintang, bulan dan matahari. Lalu sebenarnya siapakah kita, jika tidak mau berlapang dada untuk belajar dan berjuwa besar menerima kehadiran ilmu dari mana dan siapa? (S_SIM, Ahad, 17 Feb 2008)