Rabu, April 30, 2008

Be a Litle Crazy!!





Saatku ber cengkrama dengan guru dan temanku. Akuselalu berusaha tertawa ngakak……ha.. ha..ha. Dalam tertawa aku termenung, tercenung dan berpikir. Guruku itu sosok yang low profil. Saat seorang teman meminta kata penangtar untuk website-nya, jawabnya; belum selesai. Hal itu sama ketika aku meminta tulisan kolom di media tempat aku ngrumput!! Sama, sawaaun phodo wae!! Itulah karakternya, tapi tulisannya serta analisisnya dalam dan tajam, ia adalah jebolan IAIN Sunan Kalijogo levelnya Cak Nur, Cak Wahib dan yang “ndabeg-ndableg”.

Melihat pemikirannya aku lebih senang memberi julukan seorang inspirator, pandawa JIB (Jaringan Islam Berbek). Seprti JIL-nya teman muda NU atau JIMM-nya teman muda Muhammadiyah. Di bawah asupan tangnnya telah lahir organisasi kocak dan kreatif “JEBRA KOBOI”. Argumennya dalam melangkah ya ijtihadi ~jika salah dapat satu pahala dan jika benar dapar dua pahala. Hebat !!! Tapi aku terkadang masih konservatif, sebab takut kuwalat sama Kanjeng Rosul.

Dalam perbincangan malam itu terbetik kata, “Be a little Crazy!!!”. “Jadilah sedikit gila!!”. Sebab menurutnya, sedikit gila itu kunci kesuksesan. Ia member contoh : Wright bersaudara, penemu pesawat dan banyak contoh lainnya. Dengan sedikit kegilaannya mereka dapat membuat karya yang monumental. Kebetulan ada seoarang teman pelatih bola yang saat masih pejaka ia sedikit gila, bahkah agak kegilaan dalam melatih teman-teman remaja dan anak didiknya di sebuah SMU. Hasilnya luar biasa, ia sering mengondol juara di SIdoarjo, Surabaya dan sekitarnya. Tapi gelar itu kini sudah lenyap ditelan masa setelah ia sembuh dari “Be a Litle Crazy-nya”.

Lalu bagaimana dengan kita, gilakah, sedikit gilakah atau biasa-biasa saja??? Jawabnya “Be a Litle Crazy to Make Your Life Bether than Now!!!” (S_SIM, Maret 2008)

Senin, April 21, 2008

SURABAYA KOTA PAH(A)-LAWAN

Surabaya oh Surabaya oh Surabaya

Kota kenangan kota kenangan tak kan kulupa

Surabaya di tahun empat lima

Kami berjuang kami berjuang bertaruh nyawa……..

Lagu di atas mengambarkan jiwa patriotik arek-arek Surabaya yang kini dimonumenkan untuk mengenang perjuangan mereka. Jika anda melintas mulai ujung selatan Surabaya dari Jl. A. Yani, Jl. Darmo, maka akan anda temui patung-patung pahlawan: Jendral Besar Soedirman, (bahkan) monument bamboo runcing yang merupakan simbolik keberanian rakyatnya.

Sifat kepahlawanan itu seharusnya kita warisi bersama ~dan jangan sampai kita mengkultuskan patung-patungnya~, terutama dalam mengisi pembangunan. Tidak hanya Surabaya, namun se-antero jagad raya!!! Betul khan???

Namun, sifat kepahlawanan itu kini semakin diwarisi oleh generasi muda dengan keberaniaan untuk ke pah(a)-lawan. Na’udzubillah…..!!! Seperti tampak pada foto yang aku posting ini, hasil jepretan tanggal 17 April di siang bolong. Mudah-mudahan ……lah!!

Moga kita bisa mensikapi nilai kepahlawanan dengan elegan!!!! (S_SIM)


Rabu, Februari 20, 2008

Berguru Pada Waktu


Waktu merupakan suatu yang amat penting. Tanpa waktu berarti kita sudah mati. Menyia-nyiakan waktu menuju kematian ~kematian kreatifitas dan kematian aktifitas. Pepatah mengatakan 'al waktu ka al saif'. Waktu itubagaikan pedang, jika kita lengah terhadapnya, maka kita akan tertebas dengan sendirinya. Betapa dahsyat dan hebat waktu itu!
Karena sangat pentingnya waktu, maka Allah bersumpah dengan waktu, 'wa al dluha, wa al nahaar, wa al ashr, wa al lail'. Hal itu menunjukkan pentingnya waktu pagi, siang, sore, malam dll. Sungguh orang yang menyiakan waktu
akan merugi. Jika saat beraktifitas pada jam kantor kita kendor dan molor, jalan-jalan mencari makan dan 'makan', maka rugilah kita. Dan, lebih rugi lagi ummat yang hak pelayanannya sirna. Jika malam kita dugem, dan melakukan aktifitas tak berguna, maka celakalah kita. (Apa termasuk blogerrrr ya?)
Waktu begitu penting, tapi manusia sering terpelannting olehnya sebab tak menghiraukannya, menyia-nyiakannya. Lihat, banyak acara yang molor, sehingga waktu habis terbuang. Jam karet menjadi 'budaya keseharian' di setiap lini kehidupan kita. Bukan hanya orang kantoran, namun di masyarakat juga sudah sama! Lalu dari mana kita memperbaikinya? Jika di instansi, organisasi yang berbau keagamaan juga ikut-ikutan molor? Padahal mereka sangat kental dengan firman-firman Allah.
Sementara workolic kehabisan waktu. Mereka mengejar rezeki tak kenal waktu. Pagi, siang, sore, bahkan malam ia telan. Anak istri ditelantarkan, keluarga dan handai tolan tiada disapa, silaturrahmi tiada. Apalagi shilah untuk RabbNya, Pencipta dan Pengatur waktu juga tiada! Jika demikian ia telah diperbudak waktu. Siang malam beraktifitas dunia. malam sirna untuk mencash baterai ruhani dan spiritual. Sungguh mereka telah lupa waktu! Lalu bagaimana dengan kita? Sebagai orang yang arif, maka kita harus menggunakan waktu dengan bijaksana. Gunakan waktumu, senyampang engkau belum dipisahnya! (SSIM, Febr_22_08)

Ketika Harus Berguru


Allah sebagai Tuhan Semesta Alam senantiasa mengajar maklukNya. Adam diajari nama-nama, demikian pula anak cucunya. Ketika Qobil membunuh Habil, Allah mengirim burung untuk mengajari bagaiman mengubur jasad saudaranya. Demikian juga saat Nabi Musa merasa dirinya yang paling pandai, maka Allah mengirim Khidlir sebagai gurunya. Allah-pun berfirman, 'Wa fauqo kulli dzi 'ilmin 'aliimun'. Di atas setiap yang berilmu, pasti ada yang lebih pandai. Di kepandaian anak TK, ada SD. Di kepandaian anak SD ada SMP. Di kepandaian anak SMP ada SMA. Di kepandaian anak SMA ada PT, ada S2, ada S3 ada Profesor. Ada yang tak terhingga, yaitu semangat belajar.
Belajar tak boleh terhenti hingga terbawa mati, mudah-mudahan mendapat ilmu bermanfaat sebagai bekal di akhirat serta untuk memperbaiki martabat. Bukankah Kanjeng Nabi pernah berpesan,'menuntut ilmu hukumnya wajib bagi setiap orang muslim', 'menuntut ilmu itu mulai dari ayunan hingga ke liang lahat'. Sebagai ummat Kanjeng Nabi, maka kita harus berprinsip long life education. Jadi, siapa berhenti belajar ia telah mati ~setidaknya mati secara batiniyah, mati secara spiritual. Oleh itu belajar tak pernah puas. Apalagi aus.
Lalu, bagaimanakah belajarnya seorang guru? Coba pahamilah sebuah hikmah, 'belajar sepanjang hayat', dan kita tak pernah mendengar 'guru sepanjang hayat'. Saiyidina Ali berkata, 'Orang yang mengajariku satu alif, maka ia adalah guruku'. Pernahkah kita mempunyai kesadaran itu? Atau kita menyombongkan diri dengan keluasan ilmu, kelapangan harta atau tingginya kedudukan? Jawabannya tergantung kepada nurani kita. Jika kita menurut millahnya Nabi Musa, maka bergurulah kita pada Nabi Khidlir. Namun jika kita menurut syahwatnya Iblis, maka amblaslah kita.
Pertanyaan besar patut senantiasa kita tanyakan pada diri kita. Sejauh mana kesadaran diri kita, me-Musa ataukah meng-iblis? Ingat jika kesadaran kedua yang wujud, lalu setiap diri tinggi hati, setiap institusi, instansi, organisasi, dan negeri tinggi hati, maka hancur leburlah kita. Tapi untung kita ummatnya Kanjeng Nabi Muhammad yang selalu diberi tangguh. Bila salah diberi kesempatan berinstropeksi diri agar bertaubat. Matur nuwun Kanjeng Nabi, thank you my prophet!
Pada intinya, maukah kita selalu belajar? Sebagai refleksi, saat aku ikut micro teaching di Nurul Falah Surabaya banyak pelajaran dan guru yang aku dapat. Ada seorang ibu yang sudah tua, namun semangat belajarnya begitu tinggi. Ada anak yang muda belia, bahkan masih duduk di bangku SMA, namun ilmunya begitu 'tinggi'. Semua itu adalah guru laku bagiku. Menurut Ust. Abdur Rohim ~instruktur saat itu~, 'Pada hari ini pelajaran yang kita peroleh adalah hikmah apa yang bisa kita ambil dari penglihatan kita atas praktek mengajarnya asatidz-asatidzah'. Sungguh hebat kata itu, mau belajar pada siapa saja dengan melihat apa, bukan siapa. Aku jadi teringat dalam sepi malam-malamku nan panjang semasa aku duduk tadzakur dan tafakur di Masjid Darus Salam kampungku. Ku buka jendela, ku pandang bintang gemintang bergelayut di langit. Ia bertasbih. Berlinaglah air mataku. Alam adalah guruku. Ingat! Nabi Ibrohim dapat menjatuhkan teori ketuhanan Namrud dengan dalil aqli kauniyah bintang, bulan dan matahari. Lalu sebenarnya siapakah kita, jika tidak mau berlapang dada untuk belajar dan berjuwa besar menerima kehadiran ilmu dari mana dan siapa? (S_SIM, Ahad, 17 Feb 2008)

Senin, Februari 18, 2008

Guru Ideal, Tak Pernah Ideal


Aku sempat tertawa terpingkal-pingkal ~bahkan hampir terjungkal. Ketika ku baca 'Dia Tak Mengajariku, Tapi Dia Guruku'. (baca:http://padhangmbulan.com/content/blogcategory/16/37/lang,id/)
Tulisan yang merujuk pada sebuah forum guru bersama cak Nun di Jogja. Ketika seorang guru bertanya kepada cak Nun, 'Siapakah guru ideal?', dan ketika seorang lainnya bertanya, 'Siapakah gurunya cak Nun?'. Dari jawaban cak Nun aku menangkap suatu jawaban yang luar biasa, yang melingkupi ruang dan waktu, yang mensinergikan antara profan dan sakral.
Menurut cak Nun,'Bila kita mencari guru ideal, maka akan kecele..., sebab guru ideal itu tidak ada'. Yang ada hanyalah guru, yang ada hanyalah seorang yang seharusnya menjadi panutan dan teladan ~digugu lan ditiru. Tapi rasanya memang betul-betul berat. Pertama : Guru ideal dari mana? Jika misalnya ada undangan rapat jam 08.30, namun jam 09.30 baru datang. Tentu hal itu banyak kasus dan sifatnya kasualitas ~ tentunya. Itulah budaya kita yang jauh dari esensi orang Indonesia. Yang mana seharusnya memegang budaya ngewongake (mengorangkan orang) dan panjer wektu (tepat waktu). Namun apa kenyataannya. Mungkin kita juga berperan serta di dalamnya.
Kedua : Guru ideal lewat jalur apa? Jika jika diberi peluang untuk sertifikasi, namun yang ada hanya mengumpulkan ‘nilai mati’, belum ‘nilai kognitif mati’, apalagi ‘nilai citra diri’. Sebab yang dikejar hanyalah nilai dari jual beli sertifikat yang kosong dan hampa. Lalu dari manakah perbaikkan negeri ini kita tempuh, jika jalur pendidikan yang seharusnya jalan yang masih dapat digadang-gadang juga sudah dilanda ‘krisis multidimensional’.
Dan, guru yang sebenarnya adalah justru yang tidak mengajar kita, namun memberikan kita sejuta tafsir aplikasi dalam kehidupan. Sebuah tafsir yang mampu mengimplementasikan hidup kita dalam realita. ‘Itulah guru sejati’ ~belajar dari kata cak Nun tentang si Umbu. Sungguh sebuah untaian kalimat yang agung. Bukan berarti yang mengajar kita, bukan guru? Bila ia mampu mengantarkan kita menemukan nilai diri, itulah maha guru. Dari dua kalimat di atas seharusnya kita mampu belajar dari siapa saja, dari apa saja, kapan saja dan dimana saja. Terutama pada orang, pada benda, pada waktu yang mampu menghantarkan kita sadar dan tunduk.
Semua itu jika kita renungkan secara mendalam, pasti kita akan menemukan sejatinya apa diri kita. Bukankah Kanjeng Nabi pernah berpesan,’Jangan lihat siapa yang bicara, tetapi lihat apa yang dibicarakan?’. Nabi juga berpesan, ‘Bertaqwalah kamu kepada Allah dimana saja?’ Artinya kita harus mampu melihat esensi sesuatu dari siapa, dari apa, dan dari mana saja. Kita harus konsisten dengan siapa, dengan apa dan dengan apa saja yang mampu menghantarkan kemanusiaan kita. Seyampang untuk kebaikan, maka kita harus terbuka. Seyampang untuk keilmuan, maka kita harus legowo menerima informasi yang berguna atau menerima pengajaran yang bermanfaat, tapi itu berat. (sSIM, Feb16,2008)

Rabu, Februari 13, 2008

Lawatan Sejarah


Lawatan Sejarah

Berdasarkan penuturan D. Zawawi Imron, pada tahun 1740 M Dungkek menjadi tujuan pertama kali emigran China. Hal itu dikuatkan dengan adanya umah-rumah tua China, pekuburan China bahkan turunan China-pun masih ada, yang notabene mereka sudah secara turun-menurun di Madura Akulturasi budaya melalui pernikahan silangpun telah biasa, bahkan nenek buyut D. Zawawi Imron keturunan China. Cucunda D. Zawawi Imron mata dan wajahnya mirip China. Sungguh ukhuwah basyariyah telah menyatu di nadi orang Sumenep Madura.

Lawatan sejarah kami berlanjut ke desa Lapa Taman. Desa ini merupakan peninggalan kota tua yang telah hilang ditelan masa. Menurut D. Zawawi Imron, kota tersebut dibangun sejak kedatangan Joko Tole ke Madura tahun 1511 M. Kini hanya menyisakan kuburan-kuburan tua. Bila kita mau menyadari, maka sebuah desa, kota, bahkan negara ada, tumbuh dan berkembang lalu tiada. Kerajaan-kerajaan besar yang pernah ada di nusantara, seperti Sriwijaya, Majapahit hanya tinggal menyisakan nama beserta peninggalan sejarahnya. Semua adalah hal yang biasa, lumrah. Seperti halnya kita sebagai manusia : tiada, diadakan lalu ditiadakan. Porong Sidoarjo sebentar lagi menjadi Delta sebab sumur Lapindo. Di awal peristiwa lumpu Lapindo ku-SMS D. Zawawi Imron tentang fenomena alam yang begitu hebat. Semua itu kata Si Clurit Emas adalah tanda kebesaran Allah, sebab ribuan Doktor dan Profesor tak mampu berbuat banyak. Oleh itu kita harus kembali kepada-Nya. Bila kita senantiasa tetap menyombongkan diri dan tak mau tunduk kepada ketentuan Allah, maka tak menutup kemungkinan desa, kota dan bahkan negara tercinta kita tinggal menyisakan nama sebab kuasa Allah telah menyapa. Lalu kita mampu berbuat apa ?

Lawatan sejarah amat ditekankan dalam Islam, agar kita sadar untuk menata diri. Fasiiruu fil ardli, fan dzuruu kaifa kaana `aqibatul mukadzdzibiin. Nglencer, darma wisata, traveling it`s important. Tapi jangan hanya berniat meraih kesenangan rohaniah- profan semata, namun raihlah kesempurnaan rohaniah-spiritual. Contoh Nabi Uzair, ia mampu memiliki kesadaran diri dan spiritual luara biasa pasca melihat kuasa Ilahi atas dua buah desa atau negara yang dihancur leburkan oleh Allah karena kedurhakaannya. Oleh itu janganlah mata bashar kita tertutup padahal mata basyar kita mampu melihat keindahan dan sekaligus menyaksikan ayat-ayat-Nya. Dan, di Lapa Taman seharusnya kita merasa aman dalam keimanan serta jangan merasa aman dalam kehianaan.

Lawatan kami berlanjut ke sebuah masjid tua di Batang-Batang. Berdasarkan penuturan D. Zawawi Imron, semenjak kedatangan Sultan Agung dari Mataram tahun 1625 M dibangunlah masjid oleh Kyai Tengah. Kyai Tengah mendapatkan permaisuri Nyai Cedir. Dari pernikahan tersebut lahirlah Nyai Izzah dan Kyai Djamaluddin. Nyai Izzah dinikah oleh Bendara Sumenep. Namun masjid bersejarah itu tinggal menyisakan pohon tanjung di depannya, sebab semua telah lapuk dimakan usia serta kepedulian kita dan aparat yang berwenangpun tiada, yang tersisa hanya vebtilasi udara, hiasan mihrob dan mimbar yang telah lapuk pula. Penyelamatan itupun atas inisiatif D. Zawawi Imron dan direnovasilah masjid pada tahun 2004. Sementara taman nan indah di sebelah Utara dan Selatan masjid tinggal menyisakan cerita. Konon taman itu sempat digunakan sebagai tempat memandikan ternak ~guyangan. Al hamdulillah, masjid itu kini berfungsi dengan baik minus lenyapnya situs sejarah nan kematus karena tak terurus. Harapannya semoga kita peduli dan dapat menemukan jati diri abdi dalam mengabdi pada Gusti dalam setiap perajalan hidup kita, semoga ! (Jan-07)

Sebuah Perjalanan

Sebuah Perjalanan

Cukup bangga berkenalan dan bercengkrama dengan orang yang terkenal. Apalagi bersahabat dengan seorang Nabi ~di era kini dapat melihat melalui mimpi~, dan lebih-lebih dapat melihat Gusti. Sungguh sebuah nikmat yang tiada terperi ! Aku sangat merindukan my dremy di tengah kernaifan pribadi dan sosial sebagai pengobat hati. Mungkin sama dengan kita semua ?

Menjelang lawatan ke ujung paling Timur Madura ~ Pantai Dungkek~, kami berbicara tentang esensi sebuah nama dengan Ust. Zawawi. Sebuah lawatan identitas diri manusia. Tak harus nama yang harus selalu berbau Arab, tetapi yang penting adalah sebuah nama yang mampu membawa esensi haqiqi sebagai hamba Gusti. Banyak nama yang berbau bahasa Jawa, namun mampu menorehkan sejarah emas dalam hidupnya karena ia tunduk pada Tuhannya. Nama-nama tersebut antara lain : Prawoto, Kasman Singodimedjo. Ust. Zawawi juga mencontohkan nama seorang muslim Afrika, Isa …..yang iapun cukup bangga dengan namanya. Tentu kita sama.

Apa arti sebuah nama ? Tapi yang penting adalah nama yang mampu menghantarkan kita ingat dan kembali pada-Nya. Rasanya akupun ingin merubah namuku kembali menjadi nama kecilku Mardiono atau menjadi Agus Selamet, karena guru kami sekarang bernama Kyai Soekamto. Nama ? Tapi penting juga sebagai identitas diri kita. Soekarno bisa menjadi Presiden RI pertama, Syafuddin Prawiranegara bisa menjadi Presiden PDRI, Soeharto pun telah mengukir namanya. Pasca reformasi Habibie juga bisa menganti bosnya. Gus Dur juga dapat menukir namanya dikursi RI 1 hasil pemilu 1999 walau akhirnya “mundur”, Megawati toh akhirnya dapat juga mengukir namanya tidak hanya di mega, namun di langit cakrawala politik Indosnesia, bahkan Susilo Bambang Yudhoyono tanpa basik partai politik besarpun dapat meraih kursi RI 1 di pemilu 2004. Bahkan dalam pantun Ust. Zawawi ~yang kini disebut sebagai salah satu Budayawan Masuk Sekolah~ cukup unik untuk kita renungkan. “Beli rujak ke kota Solo, tertabrak bus jatuh terlentang. Untungnya punya Presiden Susilo, Presiden Bush pun bisa datang”.

Pulau Madua dengan kondisi tanah yang tak begitu ramah ~seperti pulau Jawa dan Sumatra~ namun budayanya patut untuk kita contoh; yaitu budaya tunduk pada Gusti Allah ~terlepas dari gurauan Islam bersendi dasar dua : Syahadat dan Haji. Rumah orang Madura asli berbentuk Joglo ~Jogya-Solo, di samping rumah ada musholla dan makam keluarga. Sungguh elok nian bila disetiap relung insan muslim Indonesia ada bilik musholla untuk tempat dzikir dan mengingat Tuhannya, serta ada makamnya yang mampu mengingatkan bahwa kita pasti akan mati. Sehingga segala pofesi yang kita miliki dapat mengikat kita dalam taat. Sebagai rakyat kita berkhikmat walau memeras keringat, sebagai pejabat tak rela menyikat uang rakyat. Betapa nikmat hidup penuh kesadaran pada Gusti Allah dan kesadaran mati, sehingga masing-masing kita akan berbakti dan hidup kita bersama berkaloborasi dalam abdi, abdi yang mampu menyelamatkan bahtera hidup bermasyarakat tidak dengan saling menjilat dan menyikat uang rakyat.

Setiba di pantai Dungkek ~± 9 km arah timur rumah Ust. Zawawi, serasa kami dalam lawatan alam kuasa ilahi. Kami menyadari nikmat keindahan alam bukanlah cipta da karsa manusia. Karya manusia hanya memoles dan memenejnya; sebagai contoh : Jatim Park Batu Malang atawa Wisata Bahari Lamongan. Di sana manusia tingal mengukir potensi alam yang ada; tidak menciptakannya. Menurut Ust. Zawawi, “Keindahan pantai Dungkek tinggal sisa reklamasi pantai untuk tempat tinggal dan dermaga”. Namun masih tampak keindahan nan menawan. Sun Set-nya begitu indah, terlebih dari Masjid di Desa Bujaan Lapa Laok di pantai itu. Di pantai Dungkek nan indah di tengah kebijakan nan jelek masih dapat memberikan kesadaran bahwa kita adalah pendek (rendah) dihadapan Allah pengukir Dungkek. Semoga Kita Sadar (Jan-07)