Jumat, Februari 08, 2008

Menemukan Jati Diri

Menemukan Jati Diri

Kala pertama aku menginjakkan kaki ke ujung yang paling timur pulau Madura, Jum`at, 29 Desember 2006 dipertentangan tanggal 9 Dzul Hijjah yang semakin mengerahkan iman orang yang awam, sebab para cerdik cendikiawan, ilmuwan dan agamawa sudah tak pernah satu dalam ilmu. Sungguh luar biasa karena kita nanar dalam sinar mentari yang terang. Indonesia-Arab berbeda sebab mathtlaq bisa diterima, NU-Muhammadiyah tak sama itu biasa sebab rukyat dan hisab beda di mata. Namun bila perbedaan itu ada di negeri asalnya Islam itu baru luar biasa. Rasanya aku semakin muak melihat tingkah polah kita, tapi apa bisa dikata sebab kita telah kehilangan “orang tua”, seperti khutuk kehilangan induknya.

Perjalanan malam nan menyenangkan ibarat menaiki bahtera Nuh. Diskusi panjang, perenungan, gurauan, canda tawa dan keprihatinan menyelimuti kami. SMS-ku pada D. Zawawi Imron, “Nilai apa yang dapat kita petik dari kisah pengorbanan Nabi Ibrohim di era global yang serba materialistik ?”. SMS tersebut dibalas, “Kecerdasan Nabi Ismail yang merasa dirinya milik Allah, sehingga ia mau disembelih untuk qurban. Relakahkita menyembelih egoisme dan berqurban untuk umat ?”. Kalimat sederhana nan penuh makna itu menjadi tema utama diskusi kami.

Kerelaan dan keidloan Ismail dapat kita lihat dalam surat As Shoffat ketika sang Ayah menyampaikan mimpinya untuk menyembelihnya. Ia mengatakan, “Kerjakanlah apa yang diperintah Tuhanmu, insya Allah engkau dapati aku sebagai orang yang sabar”. Sungguh kesadaran yang luar biasa yang merupakan buah didikan keimanan yang tinggi dari sosok pribadi mulai Ibrahim AS. Di balik itu tentu ada keteguhan, ketangguhan, dan kerelaan wanita agung Hajar yang mampu mencetak kepribadiaan Ismail AS. tersebut. Walau ia dalam “buangan”, single parent dan scond wife-nya Ibrahim AS, namun tiada dendam kusumat, bahkan ia tetap khikmat.

Jadi jika kita berdalih dengan kesetaraan gender, pemberdayaan wanita lalu menghujat tatanan ilahiyah dalam tata cara mengatur rumah tangga, maka sejarah agung kekasih Allah telah menelorkan wanita teladan. Ia scond wife tapi tak merasa dinomer duakan. Semua itu karena keridloan terhadap Allah yang mampu menyadarkan diri dan menyelimuti egoismenya dalam ketundukkan pada Tuhannya. Tidak semua wanita seperti Sarompait, Musdah atau Persatuan Wanita Anti Poligami yang sempat demo di mana-mana tuk menolak poligami tokoh nasional dai kondang Aa Gym. Kamipun menyadari tak semua wanita seperti Hajar, Teteh Nini, Ning Rohananya Zaenal Ma`arif.

Melihat fenomena tersebut, jangan sampai ketidak mampuan kita menerima dan melaksanakan salah satu “keluwesan” Al Qur`an menyebabkan kehancuran aqidah kita. Kita harus arif, Al Qur`an adalah kitab suci yang tentunya masih berfungsi bagi orang yang bernurani dan Kanjeng Nabi sebagai contoh teladanpun mengerti. Ingat, bahwa Al Qur`an bukan kalam mati, tentu ia mengelayut dalam nadi orang-orang yang berbakti. Dan, hidup kita adalah perjalanan pendek dunia, serta pasti akan menempuh perjalanan panjang akhirat. Jangan demi harta kita lupa akhirat, jangan demi akhirat kita melarat serta mentelantarkan hak-hak dunia atau bahkan semena-mena terhadap orang lain. Berjalanlah sewajarnya dalam qodar-Nya, berupanyalah dengan arif dan bijaksana serta “ittaqullah manis tatho`tum !”. Semoga Kita Bisa. (Jan-07)